Berkata Syaikh Sholih Al-Fauzan -hafizhahulloh-

    Segala puji hanya bagi Allah -subhanahu wa ta’ala- shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas nabi kita Muhammad -shallAllohu’alaihi wa sallam-, keluarga dan para sahabatnya.

    Amma ba’du;

    Ini adalah Syarah Qawaidul Arba’ yang dikarang oleh syaikul Islam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-. Kerana saya melihat tidak ada orang yang mensyarahnya, maka saya ingin mensyarahnya sesuai dengan kekuatan dan kemampuan saya. Mudah-mudahan Allah -subhanahu wa ta’ala- mengampuni kekurangan saya didalamnya.

    Berkata mu’allif (pengarang) -rahimahullah- :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
أسأل الله الكريم رب العرش العظيم أن يتولاك في الدنيا والآخرة وأن يجعلك مباركا أينما كنت وأن يجعلك ممن إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة
.

Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘Arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akhirat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.

[1] SYARAH (PENJELASAN) :

Qawaidul arba’ yang dikarang oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul wahhab -rahimahullah- ini adalah risalah yang tersendiri, akan tetapi dicetak bersama “Tsalasatul Ushul” kerana keperluan risalah tersebut agar berada di tangan-tangan penuntut ilmu.

Qawaid adalah bentuk jamak dari Qaidah. Sedangkan qaidah adalah pokok yang mempunyai cabang atau masalah yang banyak.

Kandungan empat kaedah yang disebutkan oleh Asy syaikh -rahimahullah- ini adalah mengenal tauhid dan syirik.

Apa kaedah di dalam tauhid? Dan apa kaedah di dalam syirik? Kerana majoriti manusia rosak dalam dua perkara ini, rosak dalam makna tauhid, apa itu (tauhid)? Dan mereka rosak dalam makna syirik, semua (orang) menafsirkan keduanya sesuai dengan hawa nafsunya masing-masing.

Akan tetapi, yang wajib bagi kita adalah mengembalikan kaedah tersebut kepada al qur’an dan sunnah, agar kaedah ini menjadi kaedah yang benar dan selamat yang diambil dari kitab Allah -subhanahu wa ta’ala- dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-, terutama dalam dua perkara besar ini, yakni tauhid dan syirik.

Syaikh -rahimahullah- tidak menyebutkan kaedah ini dari diri atau fikirannya sendiri, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh majoriti orang-orang yang rosak, tetapi kaedah ini diambil dari Kitabullah, sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- serta sejarah beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-.

Jika kamu telah mengetahui kaedah ini dan memahaminya, maka akan mudah bagimu setelah itu mengenal tauhid yang Allah -subhanahu wa ta’ala- mengutus dengannya para Rasul-Nya dan menurunkan dengannya kitab-kitab-Nya, serta mengenal syirik yang Allah -subhanahu wa ta’ala- memperingatkan darinya, juga menjelaskan bahaya dan kerugiannya didunia dan akhirat. Ini adalah perkara yang sangat penting dan itu lebih wajib atasmu daripada mengetahui hukum-hukum solat, zakat, dan ibadah-ibadah serta seluruh perkara duniawiyah, kerana hal ini adalah perkara yang paling utama dan mendasar. Sedangkan solat, zakat, haji dan selainnya –dari perkara ibadah- tidaklah sah jika tidak dibangun diatas dasar aqidah yang benar yaitu tauhid yang murni kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Sungguh Syaikh -rahimahullah- telah memberikan muqaddimah untuk Qawaidul ‘arba’ah ini dengan mukaddimah yang agung yang didalamnya terdapat do’a bagi pencari ilmu dan peringatan atas apa-apa yang akan mereka ucapkan. Ketika beliau -rahimahullah- berkata :

“Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akhirat serta menjadikanmu diberkati dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.”.

Ini adalah mukaddimah yang agung. Padanya ada do’a dari Syaikh -rahimahullah- bagi setiap pencari ilmu yang mempelajari aqidahnya dan menginginkan –dari hal tersebut- kebenaran, serta menjauhi kesesatan dan kesyirikan. Sesungguhnya dia patut untuk mendapat pelindungan Allah -subhanahu wa ta’ala- di dunia dan akhirat.

Jika Allah -subhanahu wa ta’ala- melindunginya di dunia dan akhirat maka tidak ada jalan bagi keburukan untuk sampai kepadanya, tidak pada agamanya dan tidak pula pada dunianya. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ

“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir pelindungnya adalah syaitan.” 
(Al Baqarah : 257)

Apabila Allah -subhanahu wa ta’ala- melindungimu, (maka Dia) akan mengeluarkanmu dari kegelapan, yakni kegelapan syirik dan kekufuran, keragu-raguan, serta penyimpangan menuju cahaya iman dan ilmu yang bermanfaat, serta amalan shalih.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لَا مَوْلَى لَهُمْ

“Yang demikian itu kerana sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung.” (Muhammad : 11)

Jika Allah -subhanahu wa ta’ala- melindungimu dengan pemeliharaan, taufiq, serta petunjukNya di dunia dan di akhirat, maka kamu akan berbahagia dengan kebahagiaan yang tiada celaka selamanya. Di dunia Dia akan menolongmu dengan hidayah taufiq, serta berjalan diatas manhaj yang selamat. Diakhirat Dia akan menolongmu dengan memasukkanmu kedalam syurga-Nya dan kekal di dalamnya, dimana tiada rasa takut, sakit, celaka dan tua serta ketidakenakan. Ini merupakan pertolongn Allah -subhanahu wa ta’ala- kepada hambaNya yang beriman di dunia dan di akhirat.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

dan menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada.”

Bila Allah -subhanahu wa ta’ala- menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, maka ini adalah puncak yang dicari. Allah -subhanahu wa ta’ala- menjadikan berkat pada usia, rezeki, ilmu, amal, serta keturunanmu. Dimanapun kamu berada dan menghadap, berkat senantiasa menyertaimu, maka ini adalah kebaikan yang besar dan keutamaan dari Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

Dan menjadikanmu termasuk orang-orang yang jika diberi, bersyukur”

Ini berbeza dengan orang yang jika diberi mengingkari nikmat dan menolaknya. Sesungguhnya, majoriti manusia jika diberi nikmat mereka mengkufuri, mengingkari dan memalingkan pada selain ketaatan kepada Allah -‘azza wa jalla-, sehingga hal itu menjadi sebab kesengsaraannya. Adapun orang yang bersyukur, maka Allah -subhanahu wa ta’ala- akan menambahnya :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu menyatakan “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu.” (Ibrahim : 7)

Allah -subhanahu wa ta’ala- akan menambah keutamaan serta kebaikanNya kepada orang yang bersyukur, jika ingin bertambah kenikmatan, dan jika ingin hilang kenikmatanmu maka kufurilah.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

“Dan jika mendapat ujian, bersabar”

Allah -subhanahu wa ta’ala- menguji hambaNya, menguji mereka dengan musibah, tipu daya, serta dengan musuh-musuh dari golongan orang-orang kafir dan munafiqin. Mereka memerlukan kesabaran, tidak putus asa serta tidak putus harapan dari rahmat Allah -subhanahu wa ta’ala-. Mereka tetap diatas agamanya dan tidak menjauh bersama fitnah, atau menerima fitnah. Bahkan mereka tetap diatas agamanya dan bersabar atas apa yang dijalani dari kesusahan-kesusahan didalamnya. Berbeza dengan mereka yang diuji mengeluh dan marah-marah serta putus asa dari Rahmat Allah -‘azza wa jalla-, maka orang yang demikian akan ditambah dengan cubaan demi cubaan, musibah demi musibah.

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda :

“Sesungguhnya jika Allah -subhanahu wa ta’ala- mencintai suatu kaum, (maka Dia akan) menguji mereka. Barangsiapa yang redha maka baginya keredhaan, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. “Dan manusia yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya, setelah itu orang yang semisalnya.”

Para Rasul, shiddiqin, dan syuhada’ serta hamba-hamba Allah -subhanahu wa ta’ala- yang mu’min diuji, akan tetapi mereka bersabar. Adapun orang-orang munafiq, sungguh Allah -subhanahu wa ta’ala- menyatakan tentang mereka :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ


 “Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi” (Al Hajj : 11)

Yang dimaksud tepi ertinya hujung.

فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ


“Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang. Rugilah ia didunia dan diakhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Al Hajj : 11)

Dunia itu tidak selamanya nikmat, mewah, lazat, bahagia dan mendapat pertolongan. Allah -subhanahu wa ta’ala- menggilirkannya diantara para hambaNya. Para sahabat –yang merupakan ummat yang paling mulia- apa yang terjadi pada mereka dari ujian dan cubaan?  Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ


“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (Ali Imran : 140)

Maka, hendaknya seorang hamba menenangkan jiwanya. Jika dia diuji, sesungguhnya hal ini tidak khusus baginya. Wali-wali Allah -subhanahu wa ta’ala- telah mendahului dengan hal tersebut. Hendaknya ia tenangkan jiwanya dan bersabar, serta menunggu jalan keluar dari Allah -subhanahu wa ta’ala-, dan akhir yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

“Dan jika berdosa, meminta ampun”

Adapun orang yang jika berdosa tidak meminta ampun dan bertambah dosanya, maka celakalah dia –wal iyya’udzu billah-, akan tetapi seorang hamba yang beriman, setiap kali dia berbuat dosa maka dia akan segera bertaubat.

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ


“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (Ali Imran : 135)

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ

“Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera” (An Nisaa’ : 17)

Erti jahalah itu bukanlah orang yang tidak berilmu, kerana orang yang jahil (bodoh) tidak disiksa. Akan tetapi jahalah disini adalah lawan dari hilm (santun). Maka setiap orang yang bermaksiat kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dia adalah jahil, ertinya kurang santunnya, kurang akalnya, dan kurang kemanusiaannya. Kadang-kadang ada orang yang alim (berilmu) akan tetapi jahil (bodoh) disisi yang lain, iaitu tidak memiliki kesantunan dan tidak benar dalam perkara tersebut.

“Kemudian mereka bertaubat dengan segera” ertinya, setiap kali berbuat dosa mereka minta ampun. Tidak ada seorangpun yang maksum (terjaga) dari dosa, akan tetapi –alhamdulillah- Allah -subhanahu wa ta’ala- membuka pintu taubat. Maka jika seorang hamba berdosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Jika dia tidak bertaubat meminta ampun, maka ini adalah tanda-tanda kesengsaraan, bahkan kadang-kadang ada yang putus asa dari Rahmat Allah -subhanahu wa ta’ala-, lalu syaitan mendatanginya dan berkata kepadanya “Tidak ada taubat bagimu”

Tiga perkara tersebut diatas yakni, jika diberi bersyukur, jika diuji bersabar dan jika berdosa meminta ampun merupakan tanda-tanda kebahagiaan.