Showing posts with label Tauhid. Show all posts
Showing posts with label Tauhid. Show all posts

Wednesday, December 29, 2010



SIFAT YANG WAJIB BAGI ALLAH TAALA

Sifat yang wajib bagi ALLah Taala bermaksud Zat ALLah Taala bersifat dengan sifat tersebut, dan memang ALLah Taala bersifat dengan sifat tersebut dan akal serta bukti kewajaran kejadian menolak ALLah Taala tidak bersifat dengan sifat tersebut.


Sifat yang wajib bagi ALLah Taala sangat banyak dan bilangannya tidak terhingga hingga tidak terfikir lagi oleh akal manusia. Adakah kenyataan penulis ini mahu dibantah?


Mengapa penulis mengatakan sifat yang wajib bagi ALLah Taala itu tidak akan habis diperkatakan? Mudah sahaja analogi jawabannya (sebenarnya ia adalah hakikat bukan sahaja analogi). Tuhan seharusnya sempurna tuntas total. Maka jika dikatakan Tuhan itu bersifat dengan sifat yang wajib bagiNya, maka wajar dari ALLsegi kejadian dan akal norma Tuhan sifat yang wajib itu tidak habis dibilang. Ertinya sifat yang wajib itu tidaklah habis untuk diperkatakan. Dan jika sifat yang wajib itu habis atau ada batasan, maka lemahlah ALLah Taala itu kerana terhad sifatNya. Yang tehad sifatnya adalah makhluk bukan Tuhan.

Namun ALLah Taala telah menjelaskan di dalam al-Quran, sifat wajib bagi ALLah Taala ini yang wajib diketahui hanya dua puluh sifat sahaja. Ia adalah sesuai dengan akal norma manusia yang Kulli yakni umum. Sifat yang wajib bag ALLah itu ialah Ujud (Ada), Qidam (Sedia), Baqa (Kekal), Mukhalafatuhulilhawadith (Bersalahan hakikat dengan yang baharu), Qiamuhubinafsih (Berdiri dengan sendiri), Wahdaniah (Esa), Qudrah (Berkuasa), Iradah (Menentukan), Ilmu (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama’ (Mendendengar), Basar (Melihat), Kalam (Berkata-kata), Kaunuhu Qadiran (Keadaan Yang Berkuasa), Kaunuhu Muridan (Keadaan Yang Menentukan), Kaunuhu ‘Aaliman (Keadaan Yang Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (Keadaan Yang Hidup), Kaunuhu Sami’an (Keadaan Yang Mendengar), Kaunuhu Basiran (Keadaan Yang Melihat) dan Kaunuhu Mutakalliman (Keadaan Yang Berkata-kata).

SIFAT YANG MUSTAHIL BAGI ALLAH TAALA

Sifat yang mustahil bermaksud Zat ALLah Taala tidak bersifat dengan sifat tersebut, memang tidak bersifat dengan sifat tersebut dan akal serta kewajaran norma menolak ALLah Taala bersifat dengan sifat tersebut.


Namun harus difahami bahawa bukanlah bermaksud ujud sifat yagn mustahil itu. Kemudian bercerai sifat yagn mustahil itu dari Zat ALLah Taala, lalu ALLah Taala tidak bersifat dengannya. Salah jika difahami ujud sifat buta, kemudian sifat buta itu bercerai dengan Zat, lalu Zat tidak bersifat buta. Maka yang benar ialah ALLah Taala bersifat dengan sifat yang wajib, dan lawan sifat yang wajib itu tiada bagi Zat ALLah Taala. Ertinya ALLah Taala itu Melihat dan lawannya ialah buta, dan tiada ujud sifat buta itu sama sekali.


Sifat yang mustahil bagi ALLah Taala adalah lawan bagi sifat wajib. Maka apabila ia lawan sifat wajib ia juga tiada batas bilangannya.


Sifat yang mustahil bagi ALLah Taala ialah tiada, baharu, binasa, bersamaan dengan baharu, bergantung ujud dengan yang lain, berbilang, lemah, terpaksa, bodoh, mati, pekak, buta dan bisu, seterusnya beerkeadaan lemah, terpaksa, bodoh, mati, pekak, buta dan bisu.

SIFAT YANG HARUS BAGI ALLAH TAALA


Adapun sifat yang harus bagi ALLah Taala adalah satu sahaja iaitu samada ia mahu mencipta alam yang baharu ini atau tidak mahu menciptanya.


Ertinya sifat yang harus ini adalah pilihan ALLah Taala secara mutlak mengikut sifat ilmuNya yang tiada terbatas pada masa lalu, masa ini dan masa hadapan. Maka dengan ilmuNya diketahuiNya samada mahu dijadikan atau tidak alam ini.


Maka alam ini dengan segala isinya telah ujud atas kehendak ALLah Taala sendiri. Hukum ALLah Taala mencipta alam adalah harus tanpa dipaksa atau terpaksa, atau tanpa dengan kepentingan tertentu.

sumber : http://shahil.wordpress.com/2009/01/18/sifat-yang-wajib-yang-mustahil-dan-yang-harus-bagi-allah-taala/

Posted on Wednesday, December 29, 2010 by Qalam Sufi

No comments

Friday, June 11, 2010



اعلم أرشدك الله لطاعته أن الحنيفية ملة إبراهيم أن تعبد الله وحده مخلصا له الدين كما قال تعالى: {وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ } (الذاريات آية 56. )

Ketahuilah! Semoga Allah -subhanahu wa ta’ala- membimbingmu untuk taat kepadaNya. Sesungguhnya al hanifiyyah millah (agama) Ibrahim itu adalah kamu beribadah kepada Alloh -subhanahu wa ta’ala-, mengikhlaskan agama untukNya, sebagaimana Alloh -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz Dzariyat : 56)

 SYARAH :

“Ketahuilah! Semoga Allah -subhanahu wa ta’ala- membimbingmu”.

Ini adalah do’a dari syaikh -rahimahullah-, demikianlah hendaknya seorang pengajar itu mendo’akan murid-muridnya.

Dan taat kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- itu ertinya mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Sesungguhnya al hanifiyyah millah Ibrohim” .

Allah -subhanahu wa ta’ala- memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alaihis salam. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (An Nahl : 23)

Al Hanifiyyah adalah agamanya al hanif yaitu Ibrahim ‘Alaihis salam. Sedangkan al-hanif adalah menghadap kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dengan hatinya, amalan-amalannya, niat, serta tujuannya, semuanya untuk Allah -subhanahu wa ta’ala-, dan berpaling dari yang selainNya. Allah -subhanahu wa ta’ala- memerintahkan kita untuk mengikuti millah Ibrahim ‘alahis salam

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.” (Al Hajj : 78)

Dan millahnya Ibrahim adalah kamu beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- mengikhlaskan agama untukNya.

Ini adalah al Hanifiyyah. Syaikh -rahimahullah- tidak hanya berkata “Kamu beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-” saja, bahkan menyatakan, “Mengikhlaskan agama untukNya” yaitu jauhilah syirik, kerana ibadah itu jika dicapuri kesyirikan, maka akan batal. Tidak akan menjadi ibadah, kecuali jika selamat dari syirik baik besar maupun kecil. Sebagaimana firman Allah -subhanahu wa ta’ala-

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Al Bayyinah : 5)

Hunafaa’ adalah bentuk jamak dari hanif yaitu ikhlas untuk Allah -subhanahu wa ta’ala-. Allah -subhanahu wa ta’ala- memerintahkan seluruh mahluk dengan ibadah ini, sebagaimana Allah -subhanahu wa ta’ala- menyatakan

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku” (Adz Dzariyat : 56)

Makna “menyembahKu” adalah “mengesakanKu dalam ibadah”. Dan hikmah dari penciptaan mahluk adalah, bahwasanya mereka beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dan mengikhlaskan agama untukNya. Diantara mereka ada yang mengerjakannya, dan ada pula yang tidak mengerjakannya, akan tetapi hikmah dari penciptaan mereka adalah ini. Sehingga orang yang beribadah kepada selain Allah -subhanahu wa ta’ala- adalah menyelisihi hikmah penciptaan makhluk, menyelisihi perintah dan syariat.

Nabi Ibrahim -‘alaihissalam- adalah bapanya para Nabi yang datang setelahnya, maka seluruh (para nabi) berasal dari keturunannya. Oleh sebab itu Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman

وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ

“Dan Kami jadikan kenabian dan alKitab pada keturunannya.” (al ankabut : 27)

Mereka seluruhnya berasal dari bani Israil, anak cucu Ibrahim -‘alaihissalam-, kecuali Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau berasal dari keturunan Ismail -‘alaihissalam-. Maka seluruh para Nabi berasal dari anak-anaknya Nabi Ibrahim -‘alaihissalam-, sebagai penghormatan baginya dan Allah -subhanahu wa ta’ala- menjadikannya sebagai “Imam” bagi manusia yaitu “contoh” (bagi mereka).

Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman

قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَاماً

“sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia” (Al baqarah : 124),



maknanya yaitu panutan.

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan” (An Nahl : 120)

Yaitu imam yang diteladani, dengan hal itu pula Allah -subhanahu wa ta’ala- perintahkan seluruh mahluk, sebagaimana firman Allah -subhanahu wa ta’ala-

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” (Adz Dzariyat : 56)

Maka Ibrahim -‘alaihissalam- mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- sebagaimana Nabi-Nabi selainnya. Seluruh Nabi mengejak manusia untuk beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, sebagaimana firman Allah -subhanahu wa ta’ala-

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan) “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu” (An Nahl : 36)

Adapun syariat-syariat yang berupa perintah-perintah, larangan-larangan, halal dan haram, maka hal itu berbeza pada masing-masing ummat sesuai dengan berbezanya keperluan. Allah -subhanahu wa ta’ala- mensyariatkan suatu syariat lalu menghapuskannya dengan syariat yang lain sampai datangnya syariat Islam. Kemudian syariat Islam itu menghapus seluruh syariat (sebelumnya), dan tetaplah syariat Islam itu sampai hari kiamat.

Sedangkan inti agamanya para nabi yakni tauhid, maka ini belum dihapus dan tidak akan dihapus. Agama mereka satu yaitu agama Islam dengan makna “Ikhlas untuk Allah dengan Tauhid”. Adapun Syariat-syariat (lain) yang berbeza-beza dihapus, akan tetapi tauhid dan aqidah dari Adam -‘alaihissalam- sampai Nabi yang terakhir, semuanya mengajak kepada tauhid dan beribadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Ibadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- adalah mentaatiNya pada setiap waktu dengan perkara yang diperintahkan dari syariat-syariat. Maka beramal dengan syariat yang menghapus adalah ibadah dan beramal dengan syariat yang telah dihapus bukanlah termasuk ibadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Wallahu'alam...

Posted on Friday, June 11, 2010 by Qalam Sufi

No comments

Berkata Syaikh Sholih Al-Fauzan -hafizhahulloh-

    Segala puji hanya bagi Allah -subhanahu wa ta’ala- shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas nabi kita Muhammad -shallAllohu’alaihi wa sallam-, keluarga dan para sahabatnya.

    Amma ba’du;

    Ini adalah Syarah Qawaidul Arba’ yang dikarang oleh syaikul Islam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah-. Kerana saya melihat tidak ada orang yang mensyarahnya, maka saya ingin mensyarahnya sesuai dengan kekuatan dan kemampuan saya. Mudah-mudahan Allah -subhanahu wa ta’ala- mengampuni kekurangan saya didalamnya.

    Berkata mu’allif (pengarang) -rahimahullah- :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
أسأل الله الكريم رب العرش العظيم أن يتولاك في الدنيا والآخرة وأن يجعلك مباركا أينما كنت وأن يجعلك ممن إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة
.

Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘Arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akhirat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.

[1] SYARAH (PENJELASAN) :

Qawaidul arba’ yang dikarang oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul wahhab -rahimahullah- ini adalah risalah yang tersendiri, akan tetapi dicetak bersama “Tsalasatul Ushul” kerana keperluan risalah tersebut agar berada di tangan-tangan penuntut ilmu.

Qawaid adalah bentuk jamak dari Qaidah. Sedangkan qaidah adalah pokok yang mempunyai cabang atau masalah yang banyak.

Kandungan empat kaedah yang disebutkan oleh Asy syaikh -rahimahullah- ini adalah mengenal tauhid dan syirik.

Apa kaedah di dalam tauhid? Dan apa kaedah di dalam syirik? Kerana majoriti manusia rosak dalam dua perkara ini, rosak dalam makna tauhid, apa itu (tauhid)? Dan mereka rosak dalam makna syirik, semua (orang) menafsirkan keduanya sesuai dengan hawa nafsunya masing-masing.

Akan tetapi, yang wajib bagi kita adalah mengembalikan kaedah tersebut kepada al qur’an dan sunnah, agar kaedah ini menjadi kaedah yang benar dan selamat yang diambil dari kitab Allah -subhanahu wa ta’ala- dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-, terutama dalam dua perkara besar ini, yakni tauhid dan syirik.

Syaikh -rahimahullah- tidak menyebutkan kaedah ini dari diri atau fikirannya sendiri, sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh majoriti orang-orang yang rosak, tetapi kaedah ini diambil dari Kitabullah, sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- serta sejarah beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-.

Jika kamu telah mengetahui kaedah ini dan memahaminya, maka akan mudah bagimu setelah itu mengenal tauhid yang Allah -subhanahu wa ta’ala- mengutus dengannya para Rasul-Nya dan menurunkan dengannya kitab-kitab-Nya, serta mengenal syirik yang Allah -subhanahu wa ta’ala- memperingatkan darinya, juga menjelaskan bahaya dan kerugiannya didunia dan akhirat. Ini adalah perkara yang sangat penting dan itu lebih wajib atasmu daripada mengetahui hukum-hukum solat, zakat, dan ibadah-ibadah serta seluruh perkara duniawiyah, kerana hal ini adalah perkara yang paling utama dan mendasar. Sedangkan solat, zakat, haji dan selainnya –dari perkara ibadah- tidaklah sah jika tidak dibangun diatas dasar aqidah yang benar yaitu tauhid yang murni kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Sungguh Syaikh -rahimahullah- telah memberikan muqaddimah untuk Qawaidul ‘arba’ah ini dengan mukaddimah yang agung yang didalamnya terdapat do’a bagi pencari ilmu dan peringatan atas apa-apa yang akan mereka ucapkan. Ketika beliau -rahimahullah- berkata :

“Aku meminta kepada Allah yang Maha Mulia, Rabbnya ‘arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akhirat serta menjadikanmu diberkati dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.”.

Ini adalah mukaddimah yang agung. Padanya ada do’a dari Syaikh -rahimahullah- bagi setiap pencari ilmu yang mempelajari aqidahnya dan menginginkan –dari hal tersebut- kebenaran, serta menjauhi kesesatan dan kesyirikan. Sesungguhnya dia patut untuk mendapat pelindungan Allah -subhanahu wa ta’ala- di dunia dan akhirat.

Jika Allah -subhanahu wa ta’ala- melindunginya di dunia dan akhirat maka tidak ada jalan bagi keburukan untuk sampai kepadanya, tidak pada agamanya dan tidak pula pada dunianya. Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ

“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir pelindungnya adalah syaitan.” 
(Al Baqarah : 257)

Apabila Allah -subhanahu wa ta’ala- melindungimu, (maka Dia) akan mengeluarkanmu dari kegelapan, yakni kegelapan syirik dan kekufuran, keragu-raguan, serta penyimpangan menuju cahaya iman dan ilmu yang bermanfaat, serta amalan shalih.

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لَا مَوْلَى لَهُمْ

“Yang demikian itu kerana sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung.” (Muhammad : 11)

Jika Allah -subhanahu wa ta’ala- melindungimu dengan pemeliharaan, taufiq, serta petunjukNya di dunia dan di akhirat, maka kamu akan berbahagia dengan kebahagiaan yang tiada celaka selamanya. Di dunia Dia akan menolongmu dengan hidayah taufiq, serta berjalan diatas manhaj yang selamat. Diakhirat Dia akan menolongmu dengan memasukkanmu kedalam syurga-Nya dan kekal di dalamnya, dimana tiada rasa takut, sakit, celaka dan tua serta ketidakenakan. Ini merupakan pertolongn Allah -subhanahu wa ta’ala- kepada hambaNya yang beriman di dunia dan di akhirat.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

dan menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada.”

Bila Allah -subhanahu wa ta’ala- menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, maka ini adalah puncak yang dicari. Allah -subhanahu wa ta’ala- menjadikan berkat pada usia, rezeki, ilmu, amal, serta keturunanmu. Dimanapun kamu berada dan menghadap, berkat senantiasa menyertaimu, maka ini adalah kebaikan yang besar dan keutamaan dari Allah -subhanahu wa ta’ala-.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

Dan menjadikanmu termasuk orang-orang yang jika diberi, bersyukur”

Ini berbeza dengan orang yang jika diberi mengingkari nikmat dan menolaknya. Sesungguhnya, majoriti manusia jika diberi nikmat mereka mengkufuri, mengingkari dan memalingkan pada selain ketaatan kepada Allah -‘azza wa jalla-, sehingga hal itu menjadi sebab kesengsaraannya. Adapun orang yang bersyukur, maka Allah -subhanahu wa ta’ala- akan menambahnya :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu menyatakan “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu.” (Ibrahim : 7)

Allah -subhanahu wa ta’ala- akan menambah keutamaan serta kebaikanNya kepada orang yang bersyukur, jika ingin bertambah kenikmatan, dan jika ingin hilang kenikmatanmu maka kufurilah.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

“Dan jika mendapat ujian, bersabar”

Allah -subhanahu wa ta’ala- menguji hambaNya, menguji mereka dengan musibah, tipu daya, serta dengan musuh-musuh dari golongan orang-orang kafir dan munafiqin. Mereka memerlukan kesabaran, tidak putus asa serta tidak putus harapan dari rahmat Allah -subhanahu wa ta’ala-. Mereka tetap diatas agamanya dan tidak menjauh bersama fitnah, atau menerima fitnah. Bahkan mereka tetap diatas agamanya dan bersabar atas apa yang dijalani dari kesusahan-kesusahan didalamnya. Berbeza dengan mereka yang diuji mengeluh dan marah-marah serta putus asa dari Rahmat Allah -‘azza wa jalla-, maka orang yang demikian akan ditambah dengan cubaan demi cubaan, musibah demi musibah.

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda :

“Sesungguhnya jika Allah -subhanahu wa ta’ala- mencintai suatu kaum, (maka Dia akan) menguji mereka. Barangsiapa yang redha maka baginya keredhaan, dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. “Dan manusia yang paling besar ujiannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya, setelah itu orang yang semisalnya.”

Para Rasul, shiddiqin, dan syuhada’ serta hamba-hamba Allah -subhanahu wa ta’ala- yang mu’min diuji, akan tetapi mereka bersabar. Adapun orang-orang munafiq, sungguh Allah -subhanahu wa ta’ala- menyatakan tentang mereka :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ


 “Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi” (Al Hajj : 11)

Yang dimaksud tepi ertinya hujung.

فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ


“Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia kebelakang. Rugilah ia didunia dan diakhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (Al Hajj : 11)

Dunia itu tidak selamanya nikmat, mewah, lazat, bahagia dan mendapat pertolongan. Allah -subhanahu wa ta’ala- menggilirkannya diantara para hambaNya. Para sahabat –yang merupakan ummat yang paling mulia- apa yang terjadi pada mereka dari ujian dan cubaan?  Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ


“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (Ali Imran : 140)

Maka, hendaknya seorang hamba menenangkan jiwanya. Jika dia diuji, sesungguhnya hal ini tidak khusus baginya. Wali-wali Allah -subhanahu wa ta’ala- telah mendahului dengan hal tersebut. Hendaknya ia tenangkan jiwanya dan bersabar, serta menunggu jalan keluar dari Allah -subhanahu wa ta’ala-, dan akhir yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.

Berkata Syaikh -rahimahullah- :

“Dan jika berdosa, meminta ampun”

Adapun orang yang jika berdosa tidak meminta ampun dan bertambah dosanya, maka celakalah dia –wal iyya’udzu billah-, akan tetapi seorang hamba yang beriman, setiap kali dia berbuat dosa maka dia akan segera bertaubat.

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللّهُ


“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?” (Ali Imran : 135)

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوَءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ

“Sesungguhnya taubat disisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera” (An Nisaa’ : 17)

Erti jahalah itu bukanlah orang yang tidak berilmu, kerana orang yang jahil (bodoh) tidak disiksa. Akan tetapi jahalah disini adalah lawan dari hilm (santun). Maka setiap orang yang bermaksiat kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dia adalah jahil, ertinya kurang santunnya, kurang akalnya, dan kurang kemanusiaannya. Kadang-kadang ada orang yang alim (berilmu) akan tetapi jahil (bodoh) disisi yang lain, iaitu tidak memiliki kesantunan dan tidak benar dalam perkara tersebut.

“Kemudian mereka bertaubat dengan segera” ertinya, setiap kali berbuat dosa mereka minta ampun. Tidak ada seorangpun yang maksum (terjaga) dari dosa, akan tetapi –alhamdulillah- Allah -subhanahu wa ta’ala- membuka pintu taubat. Maka jika seorang hamba berdosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Jika dia tidak bertaubat meminta ampun, maka ini adalah tanda-tanda kesengsaraan, bahkan kadang-kadang ada yang putus asa dari Rahmat Allah -subhanahu wa ta’ala-, lalu syaitan mendatanginya dan berkata kepadanya “Tidak ada taubat bagimu”

Tiga perkara tersebut diatas yakni, jika diberi bersyukur, jika diuji bersabar dan jika berdosa meminta ampun merupakan tanda-tanda kebahagiaan.

Posted on Friday, June 11, 2010 by Qalam Sufi

No comments

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Sulaiman At Tamimi

Bismillahir-rahmanir-rahim
(Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang)

Aku mohon kepada Allah yang Maha Pemurah, Rabb ‘arsy yang agung, agar Allah menjadikan engkau sebagai wali-Nya di dunia dan akhirat, agar Allah menjadikan dirimu senantiasa diberkahi di mana pun engkau berada, dan semoga Allah menjadikanmu termasuk hamba-Nya yang jika diberi anugerah bersyukur, jika diberi cubaan bersabar, dan jika berbuat dosa beristighfar, kerana ini sesungguhnya tiga perkara ini adalah tanda-tanda kebahagiaan.

Ketahuilah –semoga Allah menunjukimu untuk mentaati-Nya -, bahwa sesungguhnya Al Hanifiyyah, ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah engkau mengibadahi Allah dengan mengikhlaskan agama ini hanya bagi-Nya, sebagaimana firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyaat1: 56)

Dan bila Anda telah mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa ibadah tidak disebut ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana solat, tidaklah disebut solat bila tidak disertai dengan bersuci. Bila ibadah tersebut dimasuki syirik, maka rosaklah ibadah itu, sebagaimana hadas yang masuk ke dalam thaharah.

Jika engkau telah mengetahui bahwa syirik jika bercampur dengan ibadah maka syirik akan merosakkan ibadah, membatalkan amalan, dan menyebabkan pelakunya termasuk orang-orang yang kekal di dalam neraka, maka engkau akan mengetahui bahwa perkara yang penting bagimu untuk mengetahuinya, semoga Allah melepaskanmu dari jaring-jaring ini, yaitu syirik kepada Allah, di mana Allah berfirman tentangnya:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An- Nisaa’: 48)

Terbebasnya engkau dari jaring-jaring kesyirikan ini boleh engkau dapatkan dengan mengenali empat kaidah yang Allah sebutkan di dalam Al Qur’an.

Kaedah Pertama: Hendaknya engkau mengetahui bahwasanya orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakui bahwa Allah ta’ala-lah Sang Pencipta dan Yang Maha Mengatur, AKAN TETAPI PENGAKUAN MEREKA INI TIDAKLAH MEMASUKKAN MEREKA KE DALAM ISLAM.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ 
الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: ‘Siapa yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapa yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapa yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapa yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).” (Yunus: 31)
 

Kaedah Kedua: Orang-orang musyrikin berkata: “Kami tidak berdo’a menghadapkan hati kami kepada mereka (Nabi, malaikat, orang-orang, dan yang selain itu -pent) kecuali untuk meminta kedekatan kepada Allah, untuk meminta syafa’at.

Dalil tentang mendekatkan diri yaitu firman Allah:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (Az-Zumar: 3)


Adapun dalil tentang syafa’at yaitu firman Allah:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (Yunus: 18)

Syafa’at itu ada 2 macam:

• Syafa’at manfiyah (yang ditolak)
• Syafa’at mutsbatah (yang diterima)

Syafa’at manfiyah (yang tertolak) adalah SYAFAAT YANG DIMINTA DARI SELAIN ALLAH dalam perkara yang tidak dimampui kecuali hanya oleh Allah. Dalilnya adalah firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمْ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebahagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim. (Al-Baqarah: 254)

Syafa’at mutsbatah adalah SYAFA’AT YANG DIMINTA DARI ALLAH. Pemberi syafa’at adalah orang dimuliakan dengan syafa’at tersebut, adapun orang yang diberikan syafa’at adalah orang yang diredhai oleh Allah baik ucapan maupun perbuatannya, serta setelah diberi izin oleh Allah ta’ala, sebagaimana yang Allah firmankan;

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Siapakah yang mampu memberi syafa’at disamping Allah tanpa izin-Nya?” (Al-Baqarah: 255)

Kaedah Ketiga:
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada umat manusia yang berbeza-beza peribadatannya. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat. Di antara mereka ada yang menyembah para nabi dan orang-orang soleh, di antara mereka ada yang menyembah pepohonan dan batu-batu, di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan. Mereka ini (apapun yang mereka sembah selain Allah –pent) diperangi oleh Rasululllah shallallahu alaihi wasallam tanpa dibeza-bezakan. Dalilnya adalah firman Allah:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi kesyirikan, dan agama ini hanya untuk Allah semuanya.”(Al-Baqarah: 193)

Sedangkan yang menunjukkan mereka beribadah kepada matahari dan bulan adalah firman Allah:

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ َالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
(Fushilat: 37)

Dalil peribadahan kepada malaikat:

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا

Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Rabb. (Ali Imran: 80)

Dalil yang menunjukkan peribadahan kepada para nabi adalah:

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّي إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua sesembahan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. (Al Ma’idah: 116)

Dan dalil larangan beribadah kepada orang-orang shalih adalah:

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمْ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” (Al-Ishra: 57)


Dalil yang menunjukkan peribadatan kepada pohon-pohon dan bebatuan,

أَفَرَأَيْتُمْ اللَّاتَ وَالْعُزَّى* وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى

Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Laat dan Al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?(An Najm: 19-20)
Dan juga hadits Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu ‘anhu:

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِي -صلى الله عليه وسلم- إِلَى حُنَيْن وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ، وَلِلْمُشْرِكِيْنَ سِدْرَةٌ يَعْكِفُوْنَ عِنْدَهَا وَيَنَوِّطُوْنَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنْوَاطٍ، فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ

“Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Waktu itu kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik mempunyai pohon untuk beri’tikaf dan menggantungkan senjata. Tempat itu dikenal sebagai Dzaatu Anwath. Lalu kami melalui sebuah pohon lalu kami mengatakan kepada baginda: “Wahai Rasulullah, buatlah bagi kami Dzatu Anwath seperti yang dimiliki oleh orang-orang musyrik.

Kaidah Keempat: Sesungguhnya kaum musyrik di zaman kita lebih parah kesyirikannya dibanding musyrikin terdahulu. Sebabnya, para musyrikin zaman dahulu, mereka berdo’a secara ikhlas kepada Allah ketika mereka dalam keadaan sempit, akan tetapi mereka berbuat syirik ketika mereka dalam keadaan lapang.

Sedangkan orang-orang musyrik zaman sekarang, mereka terus menerus melakukan perbuatan syirik, baik dalam keadaan sempit maupun ketika dalam keadaan lapang. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam Al Qur’an:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوْا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (Al-Ankabut: 65-66)

Tamat, semoga shalawat dan salam tercurah kepada sayyidina Muhammad, kepada pengikut, serta para sahabat beliau.

Wallahu'alam


Diterjemahkan di Sidayu, Gresik pada hari Jum’at 25 Dzulqa’dah 1430 H – 13 November 2009

Posted on Friday, June 11, 2010 by Qalam Sufi

No comments