Kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanyakan, “Bagaimanakah kaedah (dhobith) mengangkat tangan ketika berdo’a?”

Beliau –rahimahullah- menjawab dengan rincian yang amat bagus :

Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan :

Pertama, ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Contohnya adalah ketika berdo’a setelah solat istisqo’ (solat minta diturunkannya hujan). Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jum’at atau khutbah solat istisqo’, maka dia hendaknya mengangkat tangan.

Juga contoh hal ini adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di bukit Sofa dan Marwah, berdo’a di Arafah, berdo’a ketika melempar Jumrah Al Ula pada hari-hari tasyriq dan juga Jumrah Al Wustho.

Oleh kerana itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat untuk mengangkat tangan : (1) ketika berada di Sofa, (2) ketika berada di Marwah, (3) ketika berada di Arofah, (4) ketika berada di Muzdalifah setelah solat subuh, (5) di Jumrah Al Ula di hari-hari tasyriq, (6) di Jumrah Al Wustho di hari-hari tasyriq.

Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi bagi seseorang untuk mengangkat tangan ketika itu kerana adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.

Kedua, tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Contohnya adalah do’a di dalam solat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi …; juga membaca do’a di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu juga dalam khutbah Jum’at. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut).

Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.

Ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan kerana ini termasuk adab dalam berdo’a. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.. ” [1]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan? [2]

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya do’a.

Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a. Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do’a diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan?

Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdo’a kerana hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if) [3] yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo’a, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a kerana hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if). [Liqo’at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset no. 51]

Nota kaki:

[1] Lafazh hadits yang dimaksudkan adalah :

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ‏‎ ‎وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ‏‎ ‎يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا‎ ‎رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ‏‎ ‎يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

“Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[2] HR. Muslim no. 1015.

[3] Hadits yang dimaksudkan adalah dari Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله‎ ‎عليه وسلم- إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ‏‎ ‎فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا‎ ‎حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengangkat tangan ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya hingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.”

Mengenai hadits ini, seorang pakar hadits terkemuka yaitu Abu Zur’ah mengatakan, “Hadits ini adalah hadits mungkar. Saya takut hadits ini tidak ada asalnya.” (Lihat ‘Ilalul Hadits, hal. 156, Asy Syamilah)

Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 433 mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).